Terletak
di penghujung Aceh Besar, berbatasan dengan Aceh Jaya, jauh dari perkotaan,
itulah kampung kelahiranku. Dikelilingi pegunungan dan didampingi hamparan
lautan, itulah kampung tempat aku dibesarkan. Glee Bruek, salah satu kampung di
Kecamatan Lhoong itu yang telah memberi aku banyak pelajaran kehidupan. Disana
aku merasakan kehidupan, disana aku menemukan kebahagiaan, di tanah itu aku
belajar kekuatan. Kampung itu sangat istimewa bagiku, kesejukan dan keindahannya
membuatku terlalu cinta kampung halamanku. Pagi hari melihat matahari matahari
terbit dari balik pegunungan, diiringi deru ombak yang jelas terdengar ke rumah
ku. Aku sangat senang menanti senja dari belakang rumahku untuk melihat
indahnya matahari terbenam dan laut terlihat seperti diselimuti mutiara
berwarna jingga yang berkilauan. Aku sangat mencintai saat-saat itu, mungkin
lebih tepatnya aku sangat merindukan masa-masa dimana aku menjalani kehidupan
sederhana nan bahagia di kampung halamanku.
Namun,
kampung itu bukanlah sebuah surga yang senantiasa menyuguhkan kebahagian abadi.
Disana aku mengenal rasa sakit, disana aku mengetahui kerasnya kehidupan dan di
kampung itu aku telah kehilangan separuh hidupku. Aku kehilangan Ayah disaat
berusia 2 (dua) tahun, aku bahkan tidak mengenal sosoknya. Ia begitu cepat
meninggalkan kami, kembali kepada Allah Maha Pencipta. Usiaku terus beranjak,
dan rasa kehilangan semakin memuncak. Dan aku tidak yakin, sampai kapan aku
memiliki kekuatan menahannya. 9 tahun berlalu, di tanah ini aku kembali
merasakan kehilangan, kesakitan terbesar dalam hidupku. Semua terjadi pada hari
itu, Minggu, 26 Desember 2004.
…….
“Nina,
sarapan terus neuk, supaya bisa
siap-siap untuk tampil menari” ku dengar Makti -sebutan untuk adik bungsu Ibu-
menyuruhku agar segera menghabiskan nasi dalam piring di depanku.
Hari
ini ada pesta pernikahan di desaku, dan aku menjadi penari pada acara bahagia
itu bersama beberapa teman-temanku, seperti yang selalu kami lakukan setiap ada
pesta di desa kami. Tentu saja tidak mengganggu kegiatan sekolah kami, karena
hari ini adalah hari Minggu, 26 Desember 2004.
Aku
sedikit tidak memperdulikan suruhan Makti tadi, aku sedang asyik menyaksikan
video klip lagu india kesukaanku di televisi. Kebetulan Mami (panggilan ku
untuk Ibu) baru saja membeli televisi dan dvd baru. Beberapa temanku juga
berada di rumahku untuk menyaksikan koleksi lagu india terbaruku. Teman-temanku
sering sekali datang ke rumah, karena aku jarang diizinkan bermain jauh-jauh
dari rumah. Maklum, aku adalah anak perempuan yang sangat dijaga dan dimanja
oleh keluargaku. Walalu terkadang aku mengalami kesulitan karena hal itu, aku
menjadi kurang berpengalaman dalam menjelajah hutan seperti teman-temanku, aku
tidak tahu bagaimana rasanya membajak sawah seperti mereka, aku bahkan tidak
pernah menyeberangi sungai yang terletak tidak jauh dari rumahku. Alhasil, aku
tidak banyak mengenal orang-orang di kampungku. Apalagi aku sekolah ke pasar
Lhoong (pusat kecamatan) yaitu di MIN 1 Lhoong, dari kampungku hanya aku yang
sekolah disana yang lainnya bersekolah di SD Negeri 1 Glee Bruek, berada di
kampungku. Kegiatan sehari-hari ku adalah sekolah, kemudian les beberapa
pelajaran tambahan, kemudian les seni, dilanjutkan belajar mengaji. Waktuku
untuk bermain sangat sedikit. Oleh karena itu, aku sangat senang jika hari
minggu tiba, aku bisa bermain bersama teman-teman sekaligus para tetangga
sebayaku, dan tentunya mereka yang harus ke rumahku.
Beberapa saat kemudian terdengar suara kendaraan di
depan rumah, “Itu pasti Mami” teriakku kegirangan dalam hati. Ia pasti baru
saja pulang dari rumah pamanku, supir bus antar Lhoong-Banda Aceh untuk memesan
bahan-bahan yang akan digunakannya untuk membuat bakso yang kami jual setiap
sore di depan rumah. Mami selain sebagai seorang pegawai negeri di kantor camat
Lhoong, ia juga seorang pengusaha yang terbilang sukses di kampung ku. Begitu
yang aku lihat. Namun, belum sempat aku
bangun untuk menyambut kedatangannya tiba-tiba lantai rumahku bergetar,
dindingnya bergoyang. “gempa gempa!! Semuanya keluar!” teriak Mamiku dari luar
rumah. Aku terhentak dan sangat kaget juga ketakutan, entah apa persisnya
perasaanku saat itu, ini merupakan gempa pertama kali yang aku rasakan, aku
langsung berlari keluar rumah bersama teman-temanku, disusul Mama (nenekku) dan
Makti dari dapur. Setiba di luar, aku langsung memeluk Mami yang sedang
menggendong adikku. Tetangga kami juga sudah keluar rumah, kami sangat panik,
dan tidak hentinya-hentinya mengucapkan dengan sangat keras ‘Laailahaillallah,
laailahaillallah, laailaahaillallah’. Aku menangis ketakutan, aku mendengar
adikku menangis, teman-temanku menangis, mereka juga sudah berlari ke pelukan
ibunda dan ayah mereka.
Aku
melihat rumah ku yang belum sepenuhnya rampung itu bergoyang ke kiri dan ke
kanan, bunga-bunga yang baru saja aku tanam dalam pot jatuh berserakan. Sesaat
gempa berhenti, kami terus menenangkan diri. Beberapa orang kembali ke rumah
untuk melihat kondisi rumah dan menyelematkan beberapa barang berharga. Namun,
tidak sampai satu menit bumi kembali bergoyang dahsyat, aku merasa tanah di
kakiku seolah terbelah. Kami terus beristighfar, menyebut nama Allah,
bershalawat.
Setelah
beberapa menit, keadaan kembali tenang. Dan kami mulai mendengar kabar ada
rumah yang roboh, ada jalan yang terbelah, ada jembatan yang rusak. Aku yang
saat itu masih berusia 11 tahun tidak tahu harus berpikir apa, aku merasa sudah
kehilangan pikiranku, aku masih diselimuti ketakutan, keterkejutan oleh gempa
yang sangat dahsyat ini. Aku belum siap untuk mendengar kabar-kabar lain
setelahnya.
Semua
orang di sekelilingku mencoba mencari tahu kondisi kerabat mereka, nenekku
sangat mengkhawatirkan adik lelakinya yang memiliki penyakit gangguan pendengaran
yang sudah lama dideritanya, Mamiku terus berusaha menelepon abangku
satu-satunya yang berada di Banda Aceh, ia sedang mengeyam pendidikan menengah atas
di MAN Model Banda Aceh. Namun, usaha itu sia-sia. Semua konektivitas terputus
akibat gempa. Paman dan Bunda yang berada di Banda Aceh juga tidak bisa
dihubungi, kami sangat khawatir, apalagi pamanku sedang dirawat di rumah sakit.
Kami bertanya-bertanya “apakah gempa ini hanya terjadi di daerah kami atau di
seluruh aceh?”, namun tidak ada yang bisa memberikan jawabannya.
Kepanikan
belum berakhir ketika tiba-tiba terdengar suara riuh dari dayah (pesantren
khusus pengajian) di sebelah rumahku, kami lalu keluar ke jalan menuju ke depan
dayah tersebut.
“pakon? Peu na hai? (kenapa? Apa yang
terjadi?)” tanya mami kepada beberapa
orang yang berada
“ie laot ka di surot kak (air laut sudah
surut kak)” jawab salah satu santri
dayah itu
Beberapa
detik setelah itu, orang-orang dari dalam dayah lari berhamburan ke jalan “neu plung mandum, neuplung beubagah, ie laot
ka diek, laailaahaillallah” mereka berteriak menyuruh warga lari.
Aku
tidak bisa berpikir apa-apa lagi, aku berdiri tegak tak bergerak sama sekali,
aku hanya melihat semua orang berlari, aku tidak tahu apa yang terlintas di
pikiranku saat itu, hanya saja aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku melihat
jelas tidak jauh dari hadapanku gelombang yang sangat tinggi muncul dari arah
laut. Sangat dekat denganku, aku tidak percaya gelombang tinggi berwarna hitam
itu berlari kencang ke arahku.
“ninaaaaa,
lari naaaak” aku baru tersadar ketika Makti menarik tanganku sambal berteriak
mengajakku lari. Sepertinya ia telah berlari agak jauh, namun ia kembali untuk
membawaku. Aku baru tersadar ketika lari, mami, adik dan nenekku sudah tidak
berada di sampingku. Aku berteriak kepada Makti “Mami mana? Adek mana? Mama mana?
Nina gamau lari, nina mau jemput mami dulu, mau jemput adk sm nenek dulu” aku
terus menangis dengat sangat keras. Makti mencoba menenangkanku dengan mengatakan
bahwa Mami, adik dan mama sudah lari mendahului kami. Aku percaya kepada Makti.
Kami
terus berlari melewati rumah-rumah warga, lalu kami harus melewati sawah, iya
sawah, tempat yang belum pernah aku injak sekalipun, dan ketika aku berlari
melewatinya aku tidak menyangka ternyata tanahnya dipenuhi lumpur, bagaimana
kami akan lari dengan cepat jika kaki kami tersangkut dalam lumpur itu. Aku
melihat ke belakang, gelombang hitam yang sangat tinggi terlihat jelas di
mataku, gelombang itu menghancurkan rumah kami, jelas terekam di otakku. Kami
terus berusaha berlari sekuat tenaga, hingga bertemu dengan beberapa tetangga
kami, kami berlari ke hutan, kami bahkan tidak tahu untuk apa berlari karena
kami percaya bahwa kiamat telah tiba.
“ka
kiamat donya, laailaahaillallah” teriak warga-warga yang ikut melarikan diri.
Sekuat apapun kami berlari, kami tidak mampu mengalahkan kencangnya gelombang
itu, gelombang itu mengalir mengenai kakiku, dan aku terus berlari, tanganku
tidak terlepas dari genggaman Makti. Air semakin tinggi, kami berusaha mencari
tempat menyelamatkan diri. Kami berpegang pada pohon, namun pohon tersebut
lenyap digulung gelombang, aku terbawa arus air yang sangat kencang itu. Aku
sudah pasrah kepada Allah, aku berpikir akan segera bertamu ke surgaNya. Makti
terus menggenggam tanganku, kami terbawa gelombang hitam itu hingga kami
menemukan sebatang pohon kelapa yang masih berdiri kokoh, kami berusaha
menggapai pohon kelapa besar itu, Allah Maha Penolong, Alhamdulillah, kami
memeluk pohon kelapa itu dan selamat dari arus yang sangat dahsyat.
Disekelilingku aku melihat beberapa tetangga kami yang juga menyelamatkan diri
dengan berpegang pada pohon-pohon besar. Aku melihat ketika ibu dan ayah
temanku terlepas pegangan dari pohon dan mereka terbawa arus sampai menghilang
dari pandangan kami. Aku tidak tahu lagi caranya menangis, aku berdoa, menyebut
nama Allah sekeras-kerasnya. Aku bahkan lupa setengah badanku berada dalam air
hitam yang penuh dengan segala jenis benda yang terbawa olehnya, aku bahkan
tidak bisa merasakan lagi sakitnya dihantam berbagai benda keras dan tajam di
bawah sana. Aku bahkan hampir kehilangan nyawaku ketika seorang lelaki yang
juga memegang di pohon kelapa yang sama dengan kami jatuh ke atas tubuhku, aku
tenggelam, aku tidak merasakan apa-apa lagi, tanganku terlepas, aku tidak tahu
pada apa aku berpegang saat ini. Dan Makti yang menyelamatkanku, atas
kehendakNya, Makti menarikku dari gulungan air itu hingga aku bisa kembali
bernapas, dan aku melihat, semakin sedikit orang-orang yang berada di dekatku.
Aku
tidak mengingat betul berapa lama kami bertahan dalam dahsyatnya gelombang itu.
Seingatku, air itu perlahan-perlahan surut dan menjadi sedikit tenang, lalu
kami memutuskan untuk pelan-pelan mengarungi hutan yang telah menjadi lautan
tersebut menuju tempat yang masih tersisa dari amukan gelombang tsunami. Kami
melihat ada bukit di depan sana, tidak begitu jauh, tidak begitu tinggi, dengan
segera kami menuju kesana. Berenang sedikit-sedikit demi sedikit, menepis
benda-benda yang ada di hadapanku, aku melihat ke seklilingku, semua saling
bantu untuk mencapai bukit tersebut.
Alhamdulillah
ya Allah, aku telah berdiri tegak di atas tanah, Makti tepat disampingku, aku
tidak pernah melepaskan tangannya. Hal pertama yang aku pikirkan saat itu
adalah, Ibuku, Dinda (adikku) dan nenekku. “Dimana mereka?” teriakku dalam
hati.
To be continued