Rabu, 17 Desember 2014

Ulasan Karya Jurnalisme Sastrawi #1

“Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” Karya Alfian Hamzah

            Kejarlah daku kau kusekolahkan merupakan salah satu karya jurnalisme sastrawi yang dimuat/diterbitkan dalam Majalah Pantau Edisi Februari 2003, dan kemudian dimuat di dalam buku Jurnalisme Sastrawi : Antologi Liputan Mendalam dan Memikat -Andreas Harsono dan Budi Setiyono yang diterbitkan oleh Yayasan Pantau.
Alfian Hamzah merupakan seorang jurnalis yang pernah bertugas di Aceh, dan pengalamannya itulah yang mendasari penulisan kisah ini. Kejarlah daku kau kusekolahkan menceritakan pengalaman penulis ketika bertugas sebagai jurnalis yang meliput konflik antara serdadu Batalion Infanteri 521/Dadaha Yodha dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlokasi di wilayah pantai barat Aceh, khususnya Aceh Barat dan Nagan Raya saat ini.
Melalui tulisan ini Alfian Hamzah seakan ingin mengajak pembaca membayangkan apa yang ia alami saat itu, melihat langsung konflik yang terjadi, baku tembak antara TNI dan GAM. Namun, dalam kisah ini, ia cenderung lebih banyak mengupas sisi para TNI dibanding GAM. Dengan membaca cerita ini, bayangan terhadap kekejaman kala itu tak bisa bisa ditolak. Hal itu nyata terjadi, itulah yang berhasil disampaikan Alfian.
Banyak hal tak terduga dalam tulisan ini, contohnya dalam penentuan judul. Siapa sangka bahwa makna yang terkandung dalam judul “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” berbanding terbalik dengan apa yang dibayangkan oleh pembaca. Kalimat itu merupakan istilah yang digunakan oleh tentara Indonesia untuk mengeksekusi mati bagi angota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang tertangkap pada saat itu, ‘kusekolahkan’ tidak bermakna mereka akan memberikan pendidikan, namun diberikan ‘pelajaran’ langsung di tempat. Yakni tembak mati anggota GAM oleh TNI.
Alfian menguatkan kontak batin dengan pembaca karena menggunakan sudut pandang orang pertama. Ia menceritakan dengan menggunakan kata ‘saya’, sehingga hampir tidak ada pembaca yang tidak terbawa emosi saat membaca kisah tersebut. Hal lain yang menjadi kekuatan tulisan ini adalah kepawaian penulis membentuk alur cerita yang mengaitkan berbagai konflik, emosional, hingga komedi. Ia menyisipkan beberapa dialog lucu yang dapat menjadi ‘obat’ bosan bagi pembaca.
Menceritakan pengalaman yang ia alami, tentu saja di dalamnya terdapat tokoh-tokoh penting yang tidak bisa dilewatkan. Karena tokoh-tokoh itulah yang menghidupkan cerita ini, Alfian menggambarkan karakter tokoh yang dapat menghidupkan cerita walau ada bagian yang terkesan disembunyikan. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya:
1.      Muhammad Khusnur Rohim  yang merupakan prajurit kepala Bataloni Infanteri 521/Dadaha Yodha memiliki karakter yang tangguh dan taat beribadah
2.      Mayor Jendral Djali Yusuf yaitu panglima komando operasi pemulihan keamanan Aceh
3.      Handoko yaitu sersan yang lalai dalam menjalankan tugas namun memiliki kemampuan berbahasa Aceh yang fasih.
Sedangkan tokoh-tokoh dari pihak GAM samar-samar dan hanya sedikit digambarkan.
Secara keseluruhan tulisan ini merupakan salah satu karya jurnalisme sastrawi yang baik bersama 7 karya lainnya yang dibukukan dalam buku “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat”. Dimana terdapat tulisan yang juga menceritakan konflik yang terjadi di Aceh karya Chik Rini, yang InsyaAllah nakan saya posting selanjutnya. Kekurangan dalam sebuah tulisan tentu ada, dan tugas kita adalah mengurangi kesalahan dan menciptakan karya baru yang bermanfaat bagi pembaca bahkan dunia.



Tanah Ini Mengajariku Segalanya

Terletak di penghujung Aceh Besar, berbatasan dengan Aceh Jaya, jauh dari perkotaan, itulah kampung kelahiranku. Dikelilingi pegunungan dan didampingi hamparan lautan, itulah kampung tempat aku dibesarkan. Glee Bruek, salah satu kampung di Kecamatan Lhoong itu yang telah memberi aku banyak pelajaran kehidupan. Disana aku merasakan kehidupan, disana aku menemukan kebahagiaan, di tanah itu aku belajar kekuatan. Kampung itu sangat istimewa bagiku, kesejukan dan keindahannya membuatku terlalu cinta kampung halamanku. Pagi hari melihat matahari matahari terbit dari balik pegunungan, diiringi deru ombak yang jelas terdengar ke rumah ku. Aku sangat senang menanti senja dari belakang rumahku untuk melihat indahnya matahari terbenam dan laut terlihat seperti diselimuti mutiara berwarna jingga yang berkilauan. Aku sangat mencintai saat-saat itu, mungkin lebih tepatnya aku sangat merindukan masa-masa dimana aku menjalani kehidupan sederhana nan bahagia di kampung halamanku.
Namun, kampung itu bukanlah sebuah surga yang senantiasa menyuguhkan kebahagian abadi. Disana aku mengenal rasa sakit, disana aku mengetahui kerasnya kehidupan dan di kampung itu aku telah kehilangan separuh hidupku. Aku kehilangan Ayah disaat berusia 2 (dua) tahun, aku bahkan tidak mengenal sosoknya. Ia begitu cepat meninggalkan kami, kembali kepada Allah Maha Pencipta. Usiaku terus beranjak, dan rasa kehilangan semakin memuncak. Dan aku tidak yakin, sampai kapan aku memiliki kekuatan menahannya. 9 tahun berlalu, di tanah ini aku kembali merasakan kehilangan, kesakitan terbesar dalam hidupku. Semua terjadi pada hari itu, Minggu, 26 Desember 2004.
…….
“Nina, sarapan terus neuk, supaya bisa siap-siap untuk tampil menari” ku dengar Makti -sebutan untuk adik bungsu Ibu- menyuruhku agar segera menghabiskan nasi dalam piring di depanku.
Hari ini ada pesta pernikahan di desaku, dan aku menjadi penari pada acara bahagia itu bersama beberapa teman-temanku, seperti yang selalu kami lakukan setiap ada pesta di desa kami. Tentu saja tidak mengganggu kegiatan sekolah kami, karena hari ini adalah hari Minggu, 26 Desember 2004.
Aku sedikit tidak memperdulikan suruhan Makti tadi, aku sedang asyik menyaksikan video klip lagu india kesukaanku di televisi. Kebetulan Mami (panggilan ku untuk Ibu) baru saja membeli televisi dan dvd baru. Beberapa temanku juga berada di rumahku untuk menyaksikan koleksi lagu india terbaruku. Teman-temanku sering sekali datang ke rumah, karena aku jarang diizinkan bermain jauh-jauh dari rumah. Maklum, aku adalah anak perempuan yang sangat dijaga dan dimanja oleh keluargaku. Walalu terkadang aku mengalami kesulitan karena hal itu, aku menjadi kurang berpengalaman dalam menjelajah hutan seperti teman-temanku, aku tidak tahu bagaimana rasanya membajak sawah seperti mereka, aku bahkan tidak pernah menyeberangi sungai yang terletak tidak jauh dari rumahku. Alhasil, aku tidak banyak mengenal orang-orang di kampungku. Apalagi aku sekolah ke pasar Lhoong (pusat kecamatan) yaitu di MIN 1 Lhoong, dari kampungku hanya aku yang sekolah disana yang lainnya bersekolah di SD Negeri 1 Glee Bruek, berada di kampungku. Kegiatan sehari-hari ku adalah sekolah, kemudian les beberapa pelajaran tambahan, kemudian les seni, dilanjutkan belajar mengaji. Waktuku untuk bermain sangat sedikit. Oleh karena itu, aku sangat senang jika hari minggu tiba, aku bisa bermain bersama teman-teman sekaligus para tetangga sebayaku, dan tentunya mereka yang harus ke rumahku.
Beberapa saat kemudian terdengar suara kendaraan di depan rumah, “Itu pasti Mami” teriakku kegirangan dalam hati. Ia pasti baru saja pulang dari rumah pamanku, supir bus antar Lhoong-Banda Aceh untuk memesan bahan-bahan yang akan digunakannya untuk membuat bakso yang kami jual setiap sore di depan rumah. Mami selain sebagai seorang pegawai negeri di kantor camat Lhoong, ia juga seorang pengusaha yang terbilang sukses di kampung ku. Begitu yang aku lihat.  Namun, belum sempat aku bangun untuk menyambut kedatangannya tiba-tiba lantai rumahku bergetar, dindingnya bergoyang. “gempa gempa!! Semuanya keluar!” teriak Mamiku dari luar rumah. Aku terhentak dan sangat kaget juga ketakutan, entah apa persisnya perasaanku saat itu, ini merupakan gempa pertama kali yang aku rasakan, aku langsung berlari keluar rumah bersama teman-temanku, disusul Mama (nenekku) dan Makti dari dapur. Setiba di luar, aku langsung memeluk Mami yang sedang menggendong adikku. Tetangga kami juga sudah keluar rumah, kami sangat panik, dan tidak hentinya-hentinya mengucapkan dengan sangat keras ‘Laailahaillallah, laailahaillallah, laailaahaillallah’. Aku menangis ketakutan, aku mendengar adikku menangis, teman-temanku menangis, mereka juga sudah berlari ke pelukan ibunda dan ayah mereka.

Aku melihat rumah ku yang belum sepenuhnya rampung itu bergoyang ke kiri dan ke kanan, bunga-bunga yang baru saja aku tanam dalam pot jatuh berserakan. Sesaat gempa berhenti, kami terus menenangkan diri. Beberapa orang kembali ke rumah untuk melihat kondisi rumah dan menyelematkan beberapa barang berharga. Namun, tidak sampai satu menit bumi kembali bergoyang dahsyat, aku merasa tanah di kakiku seolah terbelah. Kami terus beristighfar, menyebut nama Allah, bershalawat.
Setelah beberapa menit, keadaan kembali tenang. Dan kami mulai mendengar kabar ada rumah yang roboh, ada jalan yang terbelah, ada jembatan yang rusak. Aku yang saat itu masih berusia 11 tahun tidak tahu harus berpikir apa, aku merasa sudah kehilangan pikiranku, aku masih diselimuti ketakutan, keterkejutan oleh gempa yang sangat dahsyat ini. Aku belum siap untuk mendengar kabar-kabar lain setelahnya.
Semua orang di sekelilingku mencoba mencari tahu kondisi kerabat mereka, nenekku sangat mengkhawatirkan adik lelakinya yang memiliki penyakit gangguan pendengaran yang sudah lama dideritanya, Mamiku terus berusaha menelepon abangku satu-satunya yang berada di Banda Aceh, ia sedang mengeyam pendidikan menengah atas di MAN Model Banda Aceh. Namun, usaha itu sia-sia. Semua konektivitas terputus akibat gempa. Paman dan Bunda yang berada di Banda Aceh juga tidak bisa dihubungi, kami sangat khawatir, apalagi pamanku sedang dirawat di rumah sakit. Kami bertanya-bertanya “apakah gempa ini hanya terjadi di daerah kami atau di seluruh aceh?”, namun tidak ada yang bisa memberikan jawabannya.
Kepanikan belum berakhir ketika tiba-tiba terdengar suara riuh dari dayah (pesantren khusus pengajian) di sebelah rumahku, kami lalu keluar ke jalan menuju ke depan dayah tersebut.
pakon? Peu na hai? (kenapa? Apa yang terjadi?)tanya mami kepada beberapa orang yang berada
ie laot ka di surot kak (air laut sudah surut kak)” jawab salah satu santri dayah itu
Beberapa detik setelah itu, orang-orang dari dalam dayah lari berhamburan ke jalan “neu plung mandum, neuplung beubagah, ie laot ka diek, laailaahaillallah” mereka berteriak menyuruh warga lari.
Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi, aku berdiri tegak tak bergerak sama sekali, aku hanya melihat semua orang berlari, aku tidak tahu apa yang terlintas di pikiranku saat itu, hanya saja aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku melihat jelas tidak jauh dari hadapanku gelombang yang sangat tinggi muncul dari arah laut. Sangat dekat denganku, aku tidak percaya gelombang tinggi berwarna hitam itu berlari kencang ke arahku.
“ninaaaaa, lari naaaak” aku baru tersadar ketika Makti menarik tanganku sambal berteriak mengajakku lari. Sepertinya ia telah berlari agak jauh, namun ia kembali untuk membawaku. Aku baru tersadar ketika lari, mami, adik dan nenekku sudah tidak berada di sampingku. Aku berteriak kepada Makti “Mami mana? Adek mana? Mama mana? Nina gamau lari, nina mau jemput mami dulu, mau jemput adk sm nenek dulu” aku terus menangis dengat sangat keras. Makti mencoba menenangkanku dengan mengatakan bahwa Mami, adik dan mama sudah lari mendahului kami. Aku percaya kepada Makti.
Kami terus berlari melewati rumah-rumah warga, lalu kami harus melewati sawah, iya sawah, tempat yang belum pernah aku injak sekalipun, dan ketika aku berlari melewatinya aku tidak menyangka ternyata tanahnya dipenuhi lumpur, bagaimana kami akan lari dengan cepat jika kaki kami tersangkut dalam lumpur itu. Aku melihat ke belakang, gelombang hitam yang sangat tinggi terlihat jelas di mataku, gelombang itu menghancurkan rumah kami, jelas terekam di otakku. Kami terus berusaha berlari sekuat tenaga, hingga bertemu dengan beberapa tetangga kami, kami berlari ke hutan, kami bahkan tidak tahu untuk apa berlari karena kami percaya bahwa kiamat telah tiba.
“ka kiamat donya, laailaahaillallah” teriak warga-warga yang ikut melarikan diri. Sekuat apapun kami berlari, kami tidak mampu mengalahkan kencangnya gelombang itu, gelombang itu mengalir mengenai kakiku, dan aku terus berlari, tanganku tidak terlepas dari genggaman Makti. Air semakin tinggi, kami berusaha mencari tempat menyelamatkan diri. Kami berpegang pada pohon, namun pohon tersebut lenyap digulung gelombang, aku terbawa arus air yang sangat kencang itu. Aku sudah pasrah kepada Allah, aku berpikir akan segera bertamu ke surgaNya. Makti terus menggenggam tanganku, kami terbawa gelombang hitam itu hingga kami menemukan sebatang pohon kelapa yang masih berdiri kokoh, kami berusaha menggapai pohon kelapa besar itu, Allah Maha Penolong, Alhamdulillah, kami memeluk pohon kelapa itu dan selamat dari arus yang sangat dahsyat. Disekelilingku aku melihat beberapa tetangga kami yang juga menyelamatkan diri dengan berpegang pada pohon-pohon besar. Aku melihat ketika ibu dan ayah temanku terlepas pegangan dari pohon dan mereka terbawa arus sampai menghilang dari pandangan kami. Aku tidak tahu lagi caranya menangis, aku berdoa, menyebut nama Allah sekeras-kerasnya. Aku bahkan lupa setengah badanku berada dalam air hitam yang penuh dengan segala jenis benda yang terbawa olehnya, aku bahkan tidak bisa merasakan lagi sakitnya dihantam berbagai benda keras dan tajam di bawah sana. Aku bahkan hampir kehilangan nyawaku ketika seorang lelaki yang juga memegang di pohon kelapa yang sama dengan kami jatuh ke atas tubuhku, aku tenggelam, aku tidak merasakan apa-apa lagi, tanganku terlepas, aku tidak tahu pada apa aku berpegang saat ini. Dan Makti yang menyelamatkanku, atas kehendakNya, Makti menarikku dari gulungan air itu hingga aku bisa kembali bernapas, dan aku melihat, semakin sedikit orang-orang yang berada di dekatku.
Aku tidak mengingat betul berapa lama kami bertahan dalam dahsyatnya gelombang itu. Seingatku, air itu perlahan-perlahan surut dan menjadi sedikit tenang, lalu kami memutuskan untuk pelan-pelan mengarungi hutan yang telah menjadi lautan tersebut menuju tempat yang masih tersisa dari amukan gelombang tsunami. Kami melihat ada bukit di depan sana, tidak begitu jauh, tidak begitu tinggi, dengan segera kami menuju kesana. Berenang sedikit-sedikit demi sedikit, menepis benda-benda yang ada di hadapanku, aku melihat ke seklilingku, semua saling bantu untuk mencapai bukit tersebut.
Alhamdulillah ya Allah, aku telah berdiri tegak di atas tanah, Makti tepat disampingku, aku tidak pernah melepaskan tangannya. Hal pertama yang aku pikirkan saat itu adalah, Ibuku, Dinda (adikku) dan nenekku. “Dimana mereka?” teriakku dalam hati.

To be continued