“Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” Karya Alfian Hamzah
Kejarlah
daku kau kusekolahkan merupakan salah satu karya jurnalisme sastrawi yang dimuat/diterbitkan dalam Majalah Pantau Edisi Februari 2003, dan kemudian dimuat
di dalam buku Jurnalisme Sastrawi : Antologi Liputan Mendalam dan Memikat
-Andreas Harsono dan Budi Setiyono yang diterbitkan oleh Yayasan Pantau.
Alfian Hamzah merupakan seorang jurnalis yang pernah bertugas di Aceh, dan pengalamannya itulah yang mendasari penulisan kisah ini. Kejarlah daku kau kusekolahkan menceritakan pengalaman penulis ketika bertugas sebagai jurnalis yang meliput konflik antara serdadu Batalion Infanteri 521/Dadaha Yodha dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlokasi di wilayah pantai barat Aceh, khususnya Aceh Barat dan Nagan Raya saat ini.
Alfian Hamzah merupakan seorang jurnalis yang pernah bertugas di Aceh, dan pengalamannya itulah yang mendasari penulisan kisah ini. Kejarlah daku kau kusekolahkan menceritakan pengalaman penulis ketika bertugas sebagai jurnalis yang meliput konflik antara serdadu Batalion Infanteri 521/Dadaha Yodha dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlokasi di wilayah pantai barat Aceh, khususnya Aceh Barat dan Nagan Raya saat ini.
Melalui tulisan
ini Alfian Hamzah seakan ingin mengajak pembaca membayangkan apa yang ia alami
saat itu, melihat langsung konflik yang terjadi, baku tembak antara TNI dan
GAM. Namun, dalam kisah ini, ia cenderung lebih banyak mengupas sisi para TNI dibanding
GAM. Dengan membaca cerita ini, bayangan terhadap kekejaman kala itu tak bisa
bisa ditolak. Hal itu nyata terjadi, itulah yang berhasil disampaikan Alfian.
Banyak hal
tak terduga dalam tulisan ini, contohnya dalam penentuan judul. Siapa sangka
bahwa makna yang terkandung dalam judul “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan”
berbanding terbalik dengan apa yang dibayangkan oleh pembaca. Kalimat itu
merupakan istilah yang digunakan oleh tentara Indonesia untuk mengeksekusi mati
bagi angota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang tertangkap pada saat itu, ‘kusekolahkan’
tidak bermakna mereka akan memberikan pendidikan, namun diberikan ‘pelajaran’
langsung di tempat. Yakni tembak mati anggota GAM oleh TNI.
Alfian menguatkan
kontak batin dengan pembaca karena menggunakan sudut pandang orang pertama. Ia menceritakan
dengan menggunakan kata ‘saya’, sehingga hampir tidak ada pembaca yang tidak
terbawa emosi saat membaca kisah tersebut. Hal lain yang menjadi kekuatan
tulisan ini adalah kepawaian penulis membentuk alur cerita yang mengaitkan
berbagai konflik, emosional, hingga komedi. Ia menyisipkan beberapa dialog lucu
yang dapat menjadi ‘obat’ bosan bagi pembaca.
Menceritakan pengalaman
yang ia alami, tentu saja di dalamnya terdapat tokoh-tokoh penting yang tidak
bisa dilewatkan. Karena tokoh-tokoh itulah yang menghidupkan cerita ini, Alfian
menggambarkan karakter tokoh yang dapat menghidupkan cerita walau ada bagian
yang terkesan disembunyikan. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya:
1.
Muhammad
Khusnur Rohim yang merupakan prajurit kepala Bataloni Infanteri
521/Dadaha Yodha memiliki karakter yang tangguh dan taat beribadah
2.
Mayor
Jendral Djali Yusuf yaitu panglima komando operasi pemulihan keamanan Aceh
3.
Handoko
yaitu sersan yang lalai dalam menjalankan tugas namun memiliki kemampuan
berbahasa Aceh yang fasih.
Sedangkan
tokoh-tokoh dari pihak GAM samar-samar dan hanya sedikit digambarkan.
Secara keseluruhan
tulisan ini merupakan salah satu karya jurnalisme sastrawi yang baik bersama 7
karya lainnya yang dibukukan dalam buku “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat”. Dimana terdapat tulisan yang juga menceritakan konflik
yang terjadi di Aceh karya Chik Rini, yang InsyaAllah nakan saya posting
selanjutnya. Kekurangan dalam sebuah tulisan tentu ada, dan tugas kita adalah
mengurangi kesalahan dan menciptakan karya baru yang bermanfaat bagi pembaca
bahkan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar