“Setengah
Sayap Kupu-Kupu”
Besok
adalah hari penting bagi karirku, fashion
show yang telah lama aku impikan sudah di depan mata. Besok model-model
dengan postur tubuh kurus tinggi itu akan ber-catwalk di depan para tamu penting dan pencinta fashion memakai
pakaian hasil karyaku. Aku sangat sibuk mempersiapkan segala hal selama
beberapa bulan terakhir. Aku tidak memiliki pikiran lain selain pertunjukan
pertamaku yang harus berjalan sukses. Aku bahkan hampir lupa bagaimana rasanya
istirahat dengan tenang, makan tanpa terburu-buru, hangout bersama
teman-temanku. Aku bahkan tidak memikirkan Rangga, sebelum aku menemukan lagi
setengah sayap kupu-kupu itu.
Setelah
shalat zuhur aku memilih untuk merapikan meja kerjaku yang penuh dengan
hamburan kertas desain ketika tiba-tiba satu kertas kecil jatuh dari balik
tumpukan kertas yang aku pegang. Aku menunduk mengambil kertas kecil itu di
lantai, tanganku tertahan ketika melihat kertas lusuh terlipat berbentuk sayap
kupu-kupu tidak sempurna dengan titik-titik polka dot warna-warni di permukaan yang
hampir tidak kelihatan lagi warna aslinya. Aku ambil setengah sayap kupu-kupu
yang tergeletak di lantai, aku tiup dan pukulkan ke tangan untuk membersihkan
abu yang mungkin menempel padanya. Aku kuatkan hatiku untuk tidak membuka
lipatan sayap itu, tidak, aku tidak akan membuat suasana hatiku kacau saat ini.
Aku harus fokus pada fashion show besok.
Aku terus berbicara pada diriku sendiri, sehingga aku cukup kuat untuk memasukkan
kertas itu ke dalam laci tanpa membukanya. Menemukannya saja sudah merubah
suasana hatiku, dan yang lebih menyebalkan meski kertas setengah sayap
kupu-kupu itu aku tanam di bawah lapisan bumi ketujuhpun, aku sudah hafal
persis apa yang yang tertera di dalamnya. Sekarang aku harus bagaimana,
haruskah aku kembali mengingat untuk ke-seribu lebih- kalinya hari dimana
kertas setengah sayap kupu-kupu itu berada di tanganku dan semua kenangan yang
berkaitan dengan setengah sayap kupu-kupu itu. Haruskah aku?
“Kak
Jingga, kak Jingga, kak Jinggaaa”
‘Iya,
kenapa?” aku terhentak dari lamunanku, dan menoleh kea rah suara itu, ternyata
Citra, asistenku.
“Kakak
kenapa? Apa ada yang salah? Kenapa termenung begitu sampai tidak sadar citra
panggil” citra terlihat khawatir terhadap kondisiku
“Enggak
apa-apa cit, kakak hanya butuh istirahat sebentar, emm, kakak minta tolong kamu
yang handle dulu apa yang belum selesai yaa, kakak gak lama kok”
“Baik
kak, kak Jingga istirahat saja yaa, besok kakak harus fit, oke?” citra berusaha
membuatku semangat dengan nada cerianya, ia membentuk O dengan menggabungkan
ibu jari dan jari telunjuknya ketika bilang oke sambil nyengir padaku. Aku hanya
balas senyum pada citra. Lalu ia keluar dari ruanganku, pasti banyak hal yang
harus ia selesaikan sendiri tanpa aku.
Aku masih menyesali
peristiwa jatuhnya kertas setengah sayap kupu-kupu itu, karena setiap aku
melihatnya, kenangan 5 tahun yang lalu kembali memenuhi rongga otakku. Kenangan
ketika Rangga memutuskan hal yang tidak pernah aku duga. Dia pergi tanpa berkata
apapun padaku, setelah 2 tahun bersama bagaimana dia bisa pergi begitu saja. Satu-satunya
yang dia tinggalkan hanya secarik kertas yang ia selipkan di bawah pintu kamar
kosku. Aku ambil kertas itu, kertas yang digunting berbentuk sayap kupu-kupu,
namun hanya satu bagian sayap saja, permukaannya diisi titik-titik warna warni,
kertas yang indah. Ini pasti ulah romantis Rangga lagi, pikirku. Dengan semangat
aku buka lipatan kertas itu, dan tertulis di dalamnya, tulisan tangan Rangga:
“Jingga, kamu adalah warna
terindah dalam hidupku, kamu adalah harapan yang selalu aku tunggu. Jingga,
hanya kebahagiaan yang ingin aku lukis untukmu. Namun, aku belum mampu
melukisnya untukmu. Jingga, aku akan berusaha untuk memberi kebahagiaan
untukmu. Dengan memberikan kamu kebebasan mengepakkan sayapmu, dan aku akan
kuatkan sayapku untuk bisa kembali padamu. Saat kita kembali bersama, kita
satukan sayap kupu-kupu kita menjadi sepasang sayap yang sempurna. Tetaplah menjadi
warna yang indah, Jingga. 03 November 2010 Rangga”
Semangat ketika aku
membuka kertas itu berubah menjadi air mata, kebahagiaan yang aku tunggu sudah
sirna. Perasaan marah, sedih, kecewa, bingung berkecamuk di dada. Kertas itu
aku lempar ntah kemana, aku hanya menangis dan menangis sampai aku terlelap. Aku
terbangun dalam isak, bahkan kalau aku memilih untuk tidak pernah bangun, dalam
tidurpun aku menangis. Hari ini seharusnya adalah hari bahagia untukku dan aku
ingin berbagi kebahagiaan itu bersama Rangga, aku ingin beritahu kabar bahagia
padanya. Aku baru saja mendapat surat pemberitahuan bahwa aku diterima di Universitas
Pelangi jurusan fashion desaigner. Bidang
yang sangat aku impikan, dan Rangga tau itu. Dan sekarang aku kembali mendapat
surat pemberitahuan dengan isi yang berbeda. Bagaimana bisa ia membalikkan
kebahagiaanku menjadi kepedihan.
Selama 5 tahun ini aku
mencoba memahami makna dari pesan yang ia sampaikan dalam potongan sayap itu,
dan selama itu aku menutup hatiku untuk cinta. Namun, aku tidak yakin apakah
hatiku sudah tertutup untuk Rangga. Aku tak ingin mengakui bahwa semua hal yang
aku perjuangkan saat ini adalah untuk menguatkan sayapku. Aku menunggu setengah
sayapku yang pergi. Aku menunggu janji yang harusnya ia tepati.
Aku terbangun dari masa
laluku, aku lihat jam menunjukkan pukul 5 sore. Ah, aku belum shalat Asar. Sudah
saatnya aku kembali berserah diri pada Nya, memohon yang terbaik untuk
pertunjukan besok. Memohon yang terbaik untukku, untuk Rangga, untuk kami. Setelah
shalat asar aku menjadi lebih tenang, dan aku teringat Citra, aku bergegas
keluar menemuinya. Dan melihatnya sedang mengatur beberapa interior ruangan
yang sedikit lagi hampir selesai. Aku mendekatinya.
“Citra, maaf ya kakak
sedikit lama, bagaimana perkembangannya?”
“Kak Jingga, sudah baikan
kak? Alhamdulillah sudah hampir selesai semua kak, hanya saja undangan ada
beberapa yang dikembalikan karena salah alamat kak” jawabnya sambil menunjukkan
undangan yang ada di tangannya. Aku mengambil salah satunya untuk melihat itu
undangan yang ditujukan kepada siapa, dan yang aku temukan justru bukan yang
aku cari.
Butterfly’s Fashion Show
Invitation
At Diamond Hotel Ballroom
On 4 pm, 03 November 2015
Apakah segala hal yang
terjadi di sekelilingku harus berkaitan dengan Rangga? aku bahkan tidak bisa
mempercayai kebetulan seperti ini. Aku tidak ingin ambil pusing mengenai
tanggal itu. Aku mencoba menghilangkan pikiranku tentang Rangga dengan mengecek
pakaian yang telah dikenakan oleh model.
“sebentar lagi kita mulai
gladi, semua sudah siap?” teriak salah satu tim dari EO yang menangani acara
ini.
***
Acara fashion show berjalan lancar, baju-baju
hasil karyaku mendapat apresiasi dari para desaigner senior yang karirnya sudah
mendunia, juga para tamu sangat antusias terhadap ide yang aku angkat dalam
menghasilkan karyaku kali ini yaitu “ketegaran sayap kupu-kupu”, semua baju
yang aku tampilkan hari ini memiliki sentuhan yang berbentuk sayap kupu-kupu. Aku
mendapat beberapa bucket bunga dari teman-temanku yang hadir, mereka bergiliran
mengucapkan selamat kepadaku. Meski ada satu hal yang aku tunggu, aku sudah
lelah membohongi diri sendiri, aku sangat ingin pertunjukanku hari ini disaksikan
oleh seseorang yang menjadi inspirasiku, Rangga. Aku tidak sanggup menunggu
lebih lama lagi. Dan tiba-tiba terdengar suara seorang pria
“keindahan warna Jingga
hanya akan terus bertambah setiap harinya”
Aku terdiam sejenak
hingga aku perlahan membalikkan badan dan melihat sosok pria yang berdiri di
hadapanku. Aku kenali wajahnya, rambutnya, matanya, hidungnya. Aku berteriak
kegirangan dan menghampirinya.
“abang, kapan abang datang?
Kenapa tidak telpon Jingga dulu?” dia abangku, sudah setahun ia ke luar negeri
untuk menyelesaikan studinya.
“ini surprise, untuk
adikku yang cantik abang bawakan bunga ucapan selamat atas kesuksesannya hari
ini” ia menyerahkan bucket bunga yang sangat indah untukku.
“terimakasih abang,
terus, oleh-oleh Sidney nya mana? Masak cuma bunga sih” candaku
“kamu kamu abang bawakan
oleh-oleh teman abang darisana untuk meminangmu?” ah, mulai deh cerewetnya.
Aku dan abang bercerita
banyak hal hari itu, kadang dia mengejekku karena belum punya pasangan, kadang
aku kembali melemparkan kalimat yang sama padanya. Hari ini, dia menjadi
alasanku untuk bahagia. Dan Rangga, butuh waktu berapa lama lagi untukmu
menguatkan sayap agar bisa kembali muncul di hadapanku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar