Kamis, 08 Januari 2015

cerpen



“Setengah Sayap Kupu-Kupu”

Besok adalah hari penting bagi karirku, fashion show yang telah lama aku impikan sudah di depan mata. Besok model-model dengan postur tubuh kurus tinggi itu akan ber-catwalk di depan para tamu penting dan pencinta fashion memakai pakaian hasil karyaku. Aku sangat sibuk mempersiapkan segala hal selama beberapa bulan terakhir. Aku tidak memiliki pikiran lain selain pertunjukan pertamaku yang harus berjalan sukses. Aku bahkan hampir lupa bagaimana rasanya istirahat dengan tenang, makan tanpa terburu-buru, hangout bersama teman-temanku. Aku bahkan tidak memikirkan Rangga, sebelum aku menemukan lagi setengah sayap kupu-kupu itu.
Setelah shalat zuhur aku memilih untuk merapikan meja kerjaku yang penuh dengan hamburan kertas desain ketika tiba-tiba satu kertas kecil jatuh dari balik tumpukan kertas yang aku pegang. Aku menunduk mengambil kertas kecil itu di lantai, tanganku tertahan ketika melihat kertas lusuh terlipat berbentuk sayap kupu-kupu tidak sempurna dengan titik-titik polka dot warna-warni di permukaan yang hampir tidak kelihatan lagi warna aslinya. Aku ambil setengah sayap kupu-kupu yang tergeletak di lantai, aku tiup dan pukulkan ke tangan untuk membersihkan abu yang mungkin menempel padanya. Aku kuatkan hatiku untuk tidak membuka lipatan sayap itu, tidak, aku tidak akan membuat suasana hatiku kacau saat ini. Aku harus fokus pada fashion show besok. Aku terus berbicara pada diriku sendiri, sehingga aku cukup kuat untuk memasukkan kertas itu ke dalam laci tanpa membukanya. Menemukannya saja sudah merubah suasana hatiku, dan yang lebih menyebalkan meski kertas setengah sayap kupu-kupu itu aku tanam di bawah lapisan bumi ketujuhpun, aku sudah hafal persis apa yang yang tertera di dalamnya. Sekarang aku harus bagaimana, haruskah aku kembali mengingat untuk ke-seribu lebih- kalinya hari dimana kertas setengah sayap kupu-kupu itu berada di tanganku dan semua kenangan yang berkaitan dengan setengah sayap kupu-kupu itu. Haruskah aku?
“Kak Jingga, kak Jingga, kak Jinggaaa”
‘Iya, kenapa?” aku terhentak dari lamunanku, dan menoleh kea rah suara itu, ternyata Citra, asistenku.
“Kakak kenapa? Apa ada yang salah? Kenapa termenung begitu sampai tidak sadar citra panggil” citra terlihat khawatir terhadap kondisiku
“Enggak apa-apa cit, kakak hanya butuh istirahat sebentar, emm, kakak minta tolong kamu yang handle dulu apa yang belum selesai yaa, kakak gak lama kok”
“Baik kak, kak Jingga istirahat saja yaa, besok kakak harus fit, oke?” citra berusaha membuatku semangat dengan nada cerianya, ia membentuk O dengan menggabungkan ibu jari dan jari telunjuknya ketika bilang oke sambil nyengir padaku. Aku hanya balas senyum pada citra. Lalu ia keluar dari ruanganku, pasti banyak hal yang harus ia selesaikan sendiri tanpa aku.
Aku masih menyesali peristiwa jatuhnya kertas setengah sayap kupu-kupu itu, karena setiap aku melihatnya, kenangan 5 tahun yang lalu kembali memenuhi rongga otakku. Kenangan ketika Rangga memutuskan hal yang tidak pernah aku duga. Dia pergi tanpa berkata apapun padaku, setelah 2 tahun bersama bagaimana dia bisa pergi begitu saja. Satu-satunya yang dia tinggalkan hanya secarik kertas yang ia selipkan di bawah pintu kamar kosku. Aku ambil kertas itu, kertas yang digunting berbentuk sayap kupu-kupu, namun hanya satu bagian sayap saja, permukaannya diisi titik-titik warna warni, kertas yang indah. Ini pasti ulah romantis Rangga lagi, pikirku. Dengan semangat aku buka lipatan kertas itu, dan tertulis di dalamnya, tulisan tangan Rangga:

Jingga, kamu adalah warna terindah dalam hidupku, kamu adalah harapan yang selalu aku tunggu. Jingga, hanya kebahagiaan yang ingin aku lukis untukmu. Namun, aku belum mampu melukisnya untukmu. Jingga, aku akan berusaha untuk memberi kebahagiaan untukmu. Dengan memberikan kamu kebebasan mengepakkan sayapmu, dan aku akan kuatkan sayapku untuk bisa kembali padamu. Saat kita kembali bersama, kita satukan sayap kupu-kupu kita menjadi sepasang sayap yang sempurna. Tetaplah menjadi warna yang indah, Jingga. 03 November 2010 Rangga”

Semangat ketika aku membuka kertas itu berubah menjadi air mata, kebahagiaan yang aku tunggu sudah sirna. Perasaan marah, sedih, kecewa, bingung berkecamuk di dada. Kertas itu aku lempar ntah kemana, aku hanya menangis dan menangis sampai aku terlelap. Aku terbangun dalam isak, bahkan kalau aku memilih untuk tidak pernah bangun, dalam tidurpun aku menangis. Hari ini seharusnya adalah hari bahagia untukku dan aku ingin berbagi kebahagiaan itu bersama Rangga, aku ingin beritahu kabar bahagia padanya. Aku baru saja mendapat surat pemberitahuan bahwa aku diterima di Universitas Pelangi jurusan fashion desaigner. Bidang yang sangat aku impikan, dan Rangga tau itu. Dan sekarang aku kembali mendapat surat pemberitahuan dengan isi yang berbeda. Bagaimana bisa ia membalikkan kebahagiaanku menjadi kepedihan.
Selama 5 tahun ini aku mencoba memahami makna dari pesan yang ia sampaikan dalam potongan sayap itu, dan selama itu aku menutup hatiku untuk cinta. Namun, aku tidak yakin apakah hatiku sudah tertutup untuk Rangga. Aku tak ingin mengakui bahwa semua hal yang aku perjuangkan saat ini adalah untuk menguatkan sayapku. Aku menunggu setengah sayapku yang pergi. Aku menunggu janji yang harusnya ia tepati.
Aku terbangun dari masa laluku, aku lihat jam menunjukkan pukul 5 sore. Ah, aku belum shalat Asar. Sudah saatnya aku kembali berserah diri pada Nya, memohon yang terbaik untuk pertunjukan besok. Memohon yang terbaik untukku, untuk Rangga, untuk kami. Setelah shalat asar aku menjadi lebih tenang, dan aku teringat Citra, aku bergegas keluar menemuinya. Dan melihatnya sedang mengatur beberapa interior ruangan yang sedikit lagi hampir selesai. Aku mendekatinya.
“Citra, maaf ya kakak sedikit lama, bagaimana perkembangannya?”
“Kak Jingga, sudah baikan kak? Alhamdulillah sudah hampir selesai semua kak, hanya saja undangan ada beberapa yang dikembalikan karena salah alamat kak” jawabnya sambil menunjukkan undangan yang ada di tangannya. Aku mengambil salah satunya untuk melihat itu undangan yang ditujukan kepada siapa, dan yang aku temukan justru bukan yang aku cari.

Butterfly’s Fashion Show Invitation
At Diamond Hotel Ballroom
On 4 pm, 03 November 2015

Apakah segala hal yang terjadi di sekelilingku harus berkaitan dengan Rangga? aku bahkan tidak bisa mempercayai kebetulan seperti ini. Aku tidak ingin ambil pusing mengenai tanggal itu. Aku mencoba menghilangkan pikiranku tentang Rangga dengan mengecek pakaian yang telah dikenakan oleh model.
“sebentar lagi kita mulai gladi, semua sudah siap?” teriak salah satu tim dari EO yang menangani acara ini.
***
Acara fashion show berjalan lancar, baju-baju hasil karyaku mendapat apresiasi dari para desaigner senior yang karirnya sudah mendunia, juga para tamu sangat antusias terhadap ide yang aku angkat dalam menghasilkan karyaku kali ini yaitu “ketegaran sayap kupu-kupu”, semua baju yang aku tampilkan hari ini memiliki sentuhan yang berbentuk sayap kupu-kupu. Aku mendapat beberapa bucket bunga dari teman-temanku yang hadir, mereka bergiliran mengucapkan selamat kepadaku. Meski ada satu hal yang aku tunggu, aku sudah lelah membohongi diri sendiri, aku sangat ingin pertunjukanku hari ini disaksikan oleh seseorang yang menjadi inspirasiku, Rangga. Aku tidak sanggup menunggu lebih lama lagi. Dan tiba-tiba terdengar suara seorang pria
“keindahan warna Jingga hanya akan terus bertambah setiap harinya”
Aku terdiam sejenak hingga aku perlahan membalikkan badan dan melihat sosok pria yang berdiri di hadapanku. Aku kenali wajahnya, rambutnya, matanya, hidungnya. Aku berteriak kegirangan dan menghampirinya.
“abang, kapan abang datang? Kenapa tidak telpon Jingga dulu?” dia abangku, sudah setahun ia ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya.
“ini surprise, untuk adikku yang cantik abang bawakan bunga ucapan selamat atas kesuksesannya hari ini” ia menyerahkan bucket bunga yang sangat indah untukku.
“terimakasih abang, terus, oleh-oleh Sidney nya mana? Masak cuma bunga sih” candaku
“kamu kamu abang bawakan oleh-oleh teman abang darisana untuk meminangmu?” ah, mulai deh cerewetnya.
Aku dan abang bercerita banyak hal hari itu, kadang dia mengejekku karena belum punya pasangan, kadang aku kembali melemparkan kalimat yang sama padanya. Hari ini, dia menjadi alasanku untuk bahagia. Dan Rangga, butuh waktu berapa lama lagi untukmu menguatkan sayap agar bisa kembali muncul di hadapanku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar